Senin, 28 November 2011

R e s e n s i


A.         Pengertian Resensi
Resensi adalah suatu tulisan atau ulasan mengenai nilai sebuah hasil karya, baik itu buku, novel, majalah, komik, film, kaset, CD, VCD, maupun DVD. Tujuan resensi adalah menyampaikan kepada para pembaca apakah sebuah buku atau hasil karya itu patut mendapat sambutan dari masyarakat atau tidak. Yang akan kita bahas pada buku ini adalah resensi buku. Resensi buku adalah ulasan sebuah buku yang di dalamnya terdapat data-data buku, sinopsis buku, bahasan buku, atau kritikan terhadap buku.
Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere. Artinya melihat kembali, menimbang, atau menilai. Arti yang sama untuk istilah itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review. Tiga istilah itu mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas buku. Tindakan meresensi dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku, membahas, atau mengkritik buku. Dengan pengertian yang cukup luas itu, maksud ditulisnya resensi buku tentu menginformasikan isi buku kepada masyarakat luas.
Pada Kamus Sinonim Bahasa Indonesia disebutkan bahwa resensi adalah pertimbangan, pembicaraan, atau ulasan buku. Akhir-akhir ini, resensi buku lebih dikenal dengan istilah timbangan buku. Tujuan resensi adalah memberi informasi kepada masyarakat akan kehadiran suatu buku, apakah ada hal yang baru dan penting atau hanya sekadar mengubah buku yang sudah ada. Kelebihan dan kekurangan buku adalah objek resensi, tetapi pengungkapannya haruslah merupakan penilaian objektif dan bukan menurut selera pribadi si pembuat resensi. Umumnya, di akhir ringkasan terdapat nilai-nilai yang dapat diambil hikmahnya.
Pembuat resensi disebut resensator. Sebelum membuat resensi, resensator harus membaca buku itu terlebih dahulu. Sebaiknya, resensator memiliki pengetahuan yang memadai, terutama yang berhubungan dengan isi buku yang akan diresensi.
Ada yang berpendapat bahwa minimal ada tiga jenis resensi buku.
1.      Informatif, maksudnya, isi dari resensi hanya secara singkat dan umum dalam menyampaikan keseluruhan isi buku.
2.      Deskriptif, maksudnya, ulasan bersifat detail pada tiap bagian/bab.
3.      Kritis, maksudnya, resensi berbentuk ulasan detail dengan metodologi ilmu pengetahuan tertentu. Isi dari resensi biasanya kritis dan objektif dalam menilai isi buku.
Namun, ketiga jenis resensi di atas tidak baku. Bisa jadi resensi jenis informatif namun memuat analisa deskripsi dan kritis. Alhasil, ketiganya bisa diterapkan bersamaan.

B.   Unsur-unsur Resensi

Daniel Samad (1997: 7-8) menyebutkan unsur-unsur resensi adalah sebagai berikut:

1. Membuat judul resensi
Judul resensi yang menarik dan benar-benar menjiwai seluruh tulisan atau inti tulisan, tidakharus ditetapkan terlebih dahulu. Judul dapat dibuat sesudah resensi selesai. Yang perlu diingat, judul resensi selaras dengan keseluruhan isi resensi.

2. Menyusun data buku
Data buku biasanya disusun sebagai berikut:


a)      judul buku (Apakah buku itu termasuk buku hasil terjemahan. Kalau demikian, tuliskan judul aslinya.);
b)      pengarang (Kalau ada, tulislah juga penerjemah, editor, atau penyunting seperti yang tertera pada buku.);
c)      penerbit;
d)      tahun terbit beserta cetakannya (cetakan ke berapa);
e)      tebal buku;
f)        harga buku (jika diperlukan).

3. Membuat pembukaan

Pembukaan dapat dimulai dengan hal-hal berikut ini:
a)      memperkenalkan siapa pengarangnya, karyanya berbentuk apa saja, dan prestasi apa saja yang diperoleh;
b)      membandingkan dengan buku sejenis yang sudah ditulis, baik oleh pengarang sendiri maupun oleh pengarang lain;
c)      memaparkan kekhasan atau sosok pengarang;
d)      memaparkan keunikan buku;
e)      merumuskan tema buku;
f)        mengungkapkan kritik terhadap kelemahan buku;
g)      mengungkapkan kesan terhadap buku;
h)      memperkenalkan penerbit;
i)        mengajukan pertanyaan;
j)        membuka dialog.

4. Tubuh atau isi pernyataan resensi buku

Tubuh atau isi pernyataan resensi biasanya memuat hal-hal di bawah ini:
a)      sinopsis atau isi buku secara bernas dan kronologis;
b)      ulasan singkat buku dengan kutipan secukupnya;
c)      keunggulan buku;
d)      kelemahan buku;
e)      rumusan kerangka buku;
f)        tinjauan bahasa (mudah atau berbelit-belit);
g)      adanya kesalahan cetak.

5. Penutup resensi buku

Bagian penutup, biasnya berisi buku itu penting untuk siapa dan mengapa.

C.   Komponen Resensi

Komponen yang dapat dibahas dalam menyusun resensi novel adalah sebagai berikut.
a.       Tema
Tema apakah yang diungkap dalam novel?
Apakah tema yang diungkapkan itu menarik pembaca secara umum? Apakah tema sudah sering diungkapkan dalam seri cerita lain yang dibuatnya? Apakah tema dapat diterima sebagai kebenaran yang umum?
b.      Alur Cerita
Bagaimana peristiwa-peristiwa diatur dalam cerita?
Apa keunikan susunan peristiwa yang digunakan pengarang? Apakah ada pembaruan susunan peristiwa dalam cerita itu?
c.       Penokohan
Bagaimana pengarang memberi (menciptakan) watak atau karakter pada tokoh-tokohnya? Bagaimana sifat tokoh tersebut? Adakah keunikan dalam menciptakan watak tokoh?
d.      Sudut Pandang
Sudut pandang apa yang dipakai pengarang untuk menyampaikan cerita?
Adakah keunikan sudut pandang dalam cerita?
e.       Latar Cerita
Bagaimana latar cerita digunakan? Apakah latar ceritanya cocok dengan
peristiwa?
f.        Nilai-nilai
Nilai-nilai apakah yang dapat diambil pembaca dari cerita? Adakah nilai-nilai baru yang dikembangkan?
g.       Bahasa dan Gaya Cerita
Bagaimana bahasa yang digunakan pengarang? Apakah cerita disampaikan dengan cara humor, serius, atau sinisme?
h.       Pengarang
Siapa pengarang cerita itu? Bagaimana latar belakang kehidupannya?
Bagaimana kreativitasnya?

Dalam sebuah resensi tidak semua cerita tersebut diulas oleh penulis. Biasanya penulis hanya memilih aspek yang dianggap paling menarik. Pertimbangan tentang kemenarikan itu bersifat relatif subjektif. Oleh karena itu, resensi novel itu bersifat subjektif pula.
Jika anda telah membaca novel secara keseluruhan, hal-hal yang harus dicatat untuk membuat resensi bisa mengikuti cara seperti yang telah dikemukakan di atas, atau mengikuti cara berikut.
a.       Memberitahukan kepada masyarakat akan terbitnya buku baru dengan menginformasikan data-data, seperti judul novel, pengarang, penerbit, dan jumlah halaman.
b.      Menginformasikan jenis novel, tema, alur cerita, penokohan, sudut pandang, latar cerita, nilai-nilai, bahasa dan gaya cerita, reputasi pengarang, dan latar belakang penerbitan.
c.       Menyampaikan tujuan penulisan atau ringkasan novel.
d.      Menegaskan keunggulan dan kelemahan novel, apakah bermanfaat bagi masyarakat atau tidak. Apakah novel itu dapat memenuhi kebutuhan masyarakat atau tidak, bernilai bagi masyarakat atau tidak, dan seterusnya.

D.   Teknik Resensi
Ada tiga macam teknik meresensi buku yang dapat Anda lakukan.
Teknik pertama disebut sebagai teknik "cutting and glueing". Dinamakan seperti itu lantaran yang digunakan dalam teknik ini hanyalah "memotong" dan "merekatkan" potongan-potongan tulisan. Potongan tersebut berupa materi yang ada di dalam buku yang menarik perhatian Anda. Anda tinggal menyalin kalimat-kalimat menarik yang mencerminkan isi buku yang ditulis oleh penulis buku yang Anda baca. Sebagaimana Anda mengliping sebuah koran, begitulah yang Anda lakukan dengan "memotong" materi buku yang Anda baca.
Yang dimaksud dengan "memotong" di sini adalah memindahkan materi buku, dalam artian, Anda menuliskan kembali kalimat-kalimat menarik yang ditulis oleh si penulis ke dalam catatan Anda. Bagian yang Anda potong bisa bagian depan, tengah, atau belakang. Yang penting, yang Anda "potong" benar-benar bagian yang menarik perhatian Anda dan menurut Anda merupakan gagasan inti yang disampaikan oleh si penulis buku.
Setelah merasa cukup mengumpulkan "potongan", pilihlah yang lebih sesuai dan kaitkanlah "potongan-potongan" itu. Inilah tahap "merekatkan" atau menempelkan. Ingat, jangan asal tempel saja. Anda perlu waspada ketika mengaitkan "potongan" (baca: gagasan) yang satu dengan "potongan" yang lain. Usahakan agar tetap si penulis sendiri yang bicara. Peran Anda dalam resensi itu hanya dalam konteks menyambungkan, mengalirkan, dan mengaitkan gagasan yang satu dengan gagasan yang lain.
Diri Anda terwakili oleh judul resensi yang akan Anda buat. Selain itu, Anda dapat memasukkan diri dalam kesimpulan atau kalimat pembuka resensi apabila Anda dapat memberikan komentar pendek atas gagasan yang Anda rangkai yang berasal dari tulisan si penulis.
Teknik "cutting and glueing" ini merupakan teknik yang paling sederhana dalam membuat resensi atau teknik berlatih membuat resensi (sekaligus berlatih menulis) yang paling elementer. Apabila seseorang rajin berlatih dengan teknik ini, dia dapat meningkatkan penulisan resensinya dengan menggunakan teknik kedua.
Teknik kedua ini dinamai teknik "focusing". Teknik ini berkaitan dengan kegiatan "memusatkan perhatian" kepada satu komponen yang disajikan oleh sebuah buku. Tapi pemusatan perhatian pada buku tetap berpangkal pada apa yang merupakan sesuatu yang menonjol, yang "eye catching", dan yang memang sangat-sangat menarik perhatian.
Kita dapat menemukan hal-hal yang menonjol dari sebuah buku, seperti tema buku. Bisa pula metode pembahasan yang digunakan penulis. Sampulnya, sosok pengarangnya, gaya penyajiannya, atau latar belakang penerbitan buku tersebut. Apa saja bisa diangkat. Namun, peresensi yang ingin menggunakan teknik ini perlu sekali memilih salah satu komponen yang ada di dalam buku yang memang sangat menarik.
Teknik ketiga dinamai teknik "comparing". Teknik ini mengajak seorang peresensi untuk melakukan pembandingan atas hal-hal yang ada di dalam buku tersebut. Caranya dengan tidak hanya membaca satu buku saja. Selain buku yang ingin diresensi, seorang peresensi perlu membaca setidaknya lebih dari dua buku yang mempunyai kesamaan, misal satu tema, satu penulis, dan lain-lain. Hal ini membantu peresensi untuk dapat membandingkan buku yang ingin diresensinya dengan buku lain yang dibacanya.
Meskipun proses pembandingan itu tidak langsung dan frontal, tapi dengan membaca banyak buku, peresensi dapat memiliki cakrawala yang luas dan dapat menemukan kelebihan ataupun kekurangan yang terdapat di dalam sebuah buku. Tentu, hasil resensi yang berasal dari penggunaan teknik ketiga ini akan lebih memperkaya pembaca resensi buku tersebut.

Sumber :




Sunyi Sepi

Koran-koran menulis tentang kematian Bibiku. Banyak tokoh berkomentar bahwa bangsa ini telah kehilangan salah satu anaknya yang terbaik. Seorang pejuang kemanusiaan telah pergi! Bangsa ini berduka. Televisi pun tak kalah haru birunya, mulai berlomba menayangkan kisah sang anak bangsa. Bahkan pemerintah mengumumkan pengibaran bendera setengah tiang. Penghormatan diberikan karena anak bangsa ini telah mengharumkan nama bangsa. Tercatat, di masa bangsa disorot sebagai bangsa yang kurang menghargai hak asasi manusia, telah tampil seorang perempuan yang setiap kata dan tindakannya menggetarkan hati. Membuat bangsa ini sanggup tegak menghadapi hujan kritik atas berbagai persoalan kemanusiaan.

Andai saja politik sempit tidak ikut bermain, seharusnya dialah yang pantas tahun lalu mendapatkan Nobel Perdamaian!” begitu salah satu komentar koran lokal dengan sebuah berita yang nyaris emosional mengutip komentar seorang tokoh nasional.

Sebagai keponakan, tiba-tiba aku dianggap sebagai salah satu narasumber yang pas untuk memberi komentar mengenai Bibiku-mungkin karena aku juga aktif di beberapa kegiatan sosial. Apalagi akibat koran lokal yang tahu aku ada hubungan keluarga dengan Bibiku, namaku sontak populer dan akibatnya aku pun sibuk menjawab pertanyaan wartawan nasional dan internasional. Sibuk memberi penjelasan mengenai banyak hal, termasuk rencana upacara kematian, upacara ngaben.

Tetapi alangkah sulitnya menjawab pertanyaan-pertanyaan para wartawan dengan jujur. Apa yang mesti kukomentari? Semua kisah hidup Bibi telah diketahui umum. Semua sepak terjang Bibi selalu menjadi headline. Padahal, mereka kini ingin mencari yang lain, yang unik, yang bisa didapat dari kisah hidup Bibiku. Bila perlu yang eksotik dan bernilai berita, yang tersembunyi dalam hidup Bibiku. Ah, hidup Bibiku berjalan normal. Perkawinannya bagus. Anak-anaknya pun tak ada yang aneh-aneh. Semua normal dan lancar. Bibi seorang ibu, seorang istri. Manusia yang normal-normal saja. Apalagi yang mesti ditulis?

Yah, akhirnya mereka menjadikan upacara ngaben itu sebagai angle penulisan. Lumayanlah untuk nilai keunikan. Bukankah Bibi yang selama ini dikenal sangat modern, independen, dan berjarak dengan adat bahkan sering mengkritik adat, ternyata di saat kematiannya akan mengikuti ritus adat.

Bagi para pengejar berita, para pengagum Bibi, rencana upacara itu dijadikan sebagai ungkapan kekaguman, betapa Bibi, biarpun sudah mendunia, ternyata tetap setia pada tradisi. Waduh! Pejuang kemanusiaan itu memang memiliki akar yang kuat. Akar tradisi dan kearifan lokal. Sebagai bukti, betapa teguh kepribadiannya menghadapi berbagai perubahan sekaligus berada dalam perubahan itu… terbukti biarpun berperilaku global… upacara ngaben akan dilaksanakan… dst! dst!

Aku merunduk menahan sakit kepala.

Haruskah aku bilang, bagi desa ini, desa di mana Bibi dilahirkan dan dibesarkan hingga remaja, Bibiku bukanlah siapa- siapa. Sekalipun di masa hidupnya Bibi dan almarhum suaminya pernah menjadi pejabat di kabupaten. Dan jika dirunut dari keturunan, Bibi dan suaminya adalah keturunan bangsawan. Biarpun setiap hari Bibi jadi berita, setiap minggu mendapat penghargaan.., tetap saja bagi masyarakat desa ini Bibi bukan warga istimewa.

Bibi dan suaminya telah lama meninggalkan desa ini, mengejar kemajuan. Ketika suaminya meninggal, Bibi kemudian aktif di kegiatan kemanusiaan. Di era reformasi nama Bibi meroket ketika menggerakkan aksi-aksi perdamaiannya. Namanya berkibar bukan saja di tingkat nasional. Di kalangan internasional pun Bibi dihormati. Seruannya didengarkan oleh para pemimpin dunia, juga para pemimpin spiritual.

Sebaliknya sejak lama, bagi desa ini, Bibi tidak lagi bagian masyarakat. Bibi dan paman sudah lama tidak aktif di banjar. Begitu pun anak-anaknya. Tidak pernah lagi mengikuti berbagai kegiatan upacara dan sosial masyarakat desa. Kalaupun sesekali datang, mereka datang untuk berlibur. Mengurus rumah dan tanah warisan. Atau pulang seperti sekarang, di saat mati.

Ya, di jalan-jalan desa memang berkibar bendera setengah tiang. Tetapi hampir tiga hari ini, sejak jasad Bibi disemayamkan di rumah warisan, hanya beberapa warga desa saja yang datang melayat. Mereka yang melayat itu, aku tahu, bukan karena hormat pada Bibi, tetapi karena mengingat hubungan dengan keluarga yang lain. Mereka mengingat pertemuan dengan ayahku, dengan para paman juga bibi-bibi yang lain. Sedangkan warga lain memilih pura-pura tidak tahu-menahu.

Begitu pun dalam keluarga besar, hampir semua memang datang melayat, tetapi semua bersikap sebagai tamu, tak ada yang berlama-lama, semua seakan memberi isyarat. Dulu, bukankah begini caranya Bibimu memperlakukan kami jika kami menghadapi kematian?

Aku mengerti sikap mereka. Keluarga lain pun sama-sama memahami. Pembicaraan mengenai sikap Bibi semasa hidup terhadap masyarakat dan keluarga memang sudah lama menjadi pergunjingan. Dan sudah barang tentu, para sepupuku, anak-anak bibiku, tidak menyadari bahwa diam-diam masyarakat dan keluarga tengah menghukum Bibi dan keluarga.

Protes khas atas sikap Bibi dan anak-anaknya yang memang jarang pulang ke desa, jarang punya waktu untuk acara-acara keluarga, tengah bergulir, diembuskan dalam udara desa yang tenang. Begitu tenangnya, setenang perdamaian yang diperjuangkan oleh Bibiku.

Sudah diduga sejak lama akan datang balasan semacam ini dari warga desa terhadap Bibi dan anak-anaknya. Balasannya yang begitu halus, jauh dari komentar. Tanpa umpatan atau sesal mengenai sikap Bibi selama hidup. Mereka tahu, jalan diam adalah yang terbaik menghadapi orang yang sudah mati.

Yah, sejak lama aku pun mengalami kegamangan. Setiap kali bermain ke Jakarta atau bertemu dengan beberapa tokoh di negeri ini, lalu mereka bertanya dan menempatkan Bibi seolah-olah orang yang amat berpengaruh di daerah asalnya, aku selalu tersedak dan hanya bisa tersenyum miring.

Oh-ho! Bibi memang berjalan di atas ide dan gagasannya sendiri. Pantas dikagumi. Wajar semua kagum atas sepak terjangnya, apalagi kemajuan media massa, terutama koran-koran bila menuliskan sikap keberpihakan Bibi terhadap kemanusiaan. Membuat Bibi di mana-mana ditunggu kehadirannya. Dipanutkan dan didengarkan kata-katanya. Komentar Bibi berpengaruh, selalu dikutip. Bibi memang hebat. Konsisten dan tidak diragukan kejujurannya!

Tetapi, haruskah aku bilang kepada para pengagumnya bahwa apa pun yang dilakukan Bibi tidak terkait dengan masyarakat tempat asal-muasalnya. Semua aktivitasnya jauh dari desa ini. Ide dan gagasan Bibi adalah untuk manusia dunia. Bukan manusia di desa. Sekalipun desa kelahiran Bibi tak kalah banyak memiliki persoalan kemanusiaan; dari kemiskinan sampai kriminal. Dari politik sampai kerusuhan. Sama seperti desa- desa lain. Sama seperti persoalan-persoalan umum yang dihadapi masyarakat di zaman ini. Sama seperti yang menjadi bahan perjuangan Bibiku.

Namun, Bibiku tidak pernah melibatkan diri untuk mencari solusi dari persoalan di desanya sendiri. Yang diperjuangkan Bibi adalah kemanusiaan nasional, internasional… seperti komentar seorang tokoh, “Dia memang perempuan yang mendahului zamannya!”

Dan sungguh selalu membuatku tersenyum miring, setiap kali ingat betapa banyak aktivis yang terkenal itu terkagum-kagum pada Bibi dan mengira Bibi tentulah memiliki pengikut yang fanatik dan solid. Astaga, haruskah aku bilang, Bibi tidaklah seperti tokoh informal yang lazimnya dikenal di pedesaan. Yang dicintai buta oleh masyarakatnya. Bibi bukan siap-siapa di desa kelahirannya. Bahkan andai dicoba Bibi dilibatkan mengatasi suatu persoalan di desa kelahirannya, tidak usah dipartaruhkan, apa pun saran Bibi tidak akan didengar oleh masyarakat desa kelahirannya. Ironis memang, Bibi paling akan dikutip koran-koran. Seolah komentarnya akan mengubah sikap seisi desa, tetapi itu hanya berita di koran. Masyarakat desa punya tokoh sendiri. Tokoh yang hadir setiap saat dalam suka dan duka, dalam bahasa mereka sendiri. Dan panutannya sendiri.

“Ibumu memang terkenal, tapi apa gunanya keterkenalannya saat ini?! Kamu pikir semua orang akan datang membantu mengurus upacara kematian ibumu?! Hanya karena dia orang terkenal?!”

Aku tercekat.

Paman Bungsuku mulai meraung dan melotot kepada anak bibiku yang paling sulung. Sebagai salah satu pengurus Desa Adat, Paman Bungsuku tentu tahu apa yang telah digunjingkan masyarakat terhadap rencana ngaben Bibiku.

“Dari dulu telah aku sarankan, jika ibumu meninggal, kremasi saja di Jawa! Jangan bermimpi membuat upacara kematian yang besar. Biarpun kamu punya duit, bisa membeli apa saja, tetapi apa gunanya?! Semua orang di desa ini enggan melayat. Enggan menolong kalian. Karena apa? Karena kalian tidak pernah menganggap mereka ada dan hidup! Tanya pada dirimu, apa pernah kamu ikut terlibat meneteskan keringat jika mereka bikin upacara?! Sekarang kamu menuntut hak sebagai warga desa. Kewajibanmu sendiri apa pernah kamu penuhi?! Apa begini yang namanya keadilan yang diperjuangkan ibumu itu? Sekarang menuntut perlakuan yang sama. Tetapi apa pernah ibumu memperlakukan mereka dengan adil?! Ibumu hanya bisa mengkritik adat! Hanya bisa mengusulkan perubahan. Menyarankan persamaan sikap. Sekarang mereka telah mematuhi ajaran ibumu. Menjalankan persamaan sikap terhadap sikap ibumu kepada mereka!”

“Jadi, jangan muluk-muluk! Ibumu hanya besar dalam berita. Tetapi dia sudah kehilangan akar. Kehilangan ikatan dengan manusia yang dia perjuangkan! Terutama dengan manusia desa ini!”

Aku menyingkir jauh.

Para sepupuku tentu sulit mengerti. Mereka sejak kecil jauh dari desa ini. Bahkan jauh dari negeri ini. Yang mereka tahu, ibu mereka seorang terkenal, humanis yang dihormati oleh banyak orang. Seorang ibu yang selalu penuh perhatian kepada banyak orang. Ibu yang penuh kasih dan perhatian terhadap berbagai peristiwa ketidakadilan!

Logikanya, tentulah masyarakat desa bangga pada ibunya. Tentulah desa ini akan berkabung berhari-hari, bersedih atas kematian salah satu warganya yang ditempatkan sebagai tokoh kemanusiaan dunia! 

Sewajarnya, masyarakat akan bergerak, tanpa diminta bahumembahu menyukseskan upacara ngaben untuk kematian ibu mereka. Apalagi, bukankah dalam buku-buku kisah desa ini dituturkan mengenai kuatnya tradisi gotong royong, kasih sayang, dan harga-menghargai?

Teriakan-teriakan antara Paman Bungsuku dan para sepupu itu perlahan lenyap. Lenyap oleh rumah besar yang tetap sunyi sepi.

Pelayat-pelayat yang datang dari jauh, yang mengenal Bibi dari koran dan ruang-ruang diskusi, yang kagum karena ide dan gagasan Bibi, setiap kali datang tak dapat menahan ketersentakannya. Tak sanggup menyembunyikan keheranan di mata mereka: kenapa sepi nian rumah besar ini?! Bukankah dari yang mereka dengar dan baca, jika ada kematian, warga desa akan datang berduyun-duyun melakukan kerja bakti. 

Apalagi akan ada rencana upacara ngaben besar seorang tokoh yang begitu berpengaruh. Bukankah biasanya bila salah satu warga saja yang mati, semua warga bila perlu berhari-hari menginap di rumah duka sebagai tanda solidaritas dan penghormatan? Tetapi inilah kenyataannya. Yang melayat Bibi hanyalah mereka yang dari jauh, yang dekat seolah tidak tahu bahwa ada jasad di dalam rumah.

Oh, kembali perdebatan itu terdengar.

Kenapa tidak dikremasi di Jawa saja? Atau di Denpasar? Sekarang toh bisa ngaben cepat tanpa harus menggunakan upacara lengkap?! Kenapa anak- anak bibi merasa perlu memberi hadiah terakhir sebuah upacara pengabenan lengkap? Astaga! Mereka tentu tidak bisa dilarang membawa jasad bibi pulang. Tentu tidak bisa dilarang untuk merancang membuat rencana upacara besar. Mereka ingin menghormati ibu mereka. Juga mereka punya uang. Tetapi tahukah mereka, ngaben tidak cuma perlu uang tetapi perlu dukungan masyarakat? Dan tahukah mereka, Bibi tidak pernah sekalipun melakukan kerja bakti untuk kegiatan apa pun di desa ini? Menyumbang pun tidak. Bibi entah kenapa, kepada keluarga dan masyarakatnya sendiri begitu pelit dan kritis, bahkan cenderung sinis. Entah kenapa… .

Apa mereka kira ini semacam resepsi perkawinan? Yang bisa segalanya total dibeli? Atau dilangsungkan di hotel?

Aku merasakan kengerian berindap-indap di tiap wajah keluarga malam itu ketika duduk bersama untuk merapatkan rencana upacara ngaben bibiku.

Anak-anak bibiku tetap ngotot dengan rencana mereka. Yang menakjubkan lagi, upacara ngaben Bibi akan dihadiri pula banyak wartawan dan pejabat.

“Kamu pikir mengundang tamu itu mudah? Siapa yang akan mengurus? Apa kamu pikir dengan bade bertingkat tidak perlu manusia untuk mengusungnya ke kuburan? Kamu pikir akan mudah menyuruh orang-orang mengusung bade ibumu?!” Semua mulai histeris, membayangkan upacara yang kacau.

“Tenanglah! Saya sudah membuat kepanitiaan. Saya tahu, tidak mungkin mendapat bantuan masyarakat desa ini. Karena itu, untuk akomodasi, perjamuan para tamu kita sewa katering. Untuk mengusung bade ke kuburan, kita sewa buruh- buruh bangunan. Kemudian transportasi sudah ada, travel yang akan mengurus,” anak Bibi yang tertua, yang kini menjadi pengusaha kaya, menyampaikan rencananya.

“Hanya satu yang kami mohon, sudilah semua keluarga hadir. Agar di mata teman-teman Ibu, kita tetap tampak kompak. Ibu dan kami memang bersalah… janganlah ibu dihukum seperti ini.”

Aku merunduk. Isak tangis pun mulai pecah. Entah kenapa, walau semua pekerjaan dan perlengkapan yang diperlukan untuk ngaben telah dipesan, telah disewa, tetap saja ada kesunyian yang mencekam di rumah besar ini. Seperti ada yang patah, lalu jatuh di tengah tanah yang sunyi. Desaunya membuat hati dilanda perasaan sendiri. Begitu sendiri.

Segalanya telah dirancang rapi. Akhirnya, seluruh keluarga mau terlibat sebagai panitia. Bukan karena Bibi, tetapi lebih karena menjaga nama keluarga!

Dan hari-H pun tiba. Ratusan mobil berderet di jalan. Para pelayat yang datang dari jauh, dari berbagai kota dan berbagai negara, berdatangan sejak pagi. Suara gamelan, penyambut tamu dan perjamuan, berlangsung lancar. Rapi. Bahkan terlalu rapi. Semua tertata nyaris sempurna.

Kemudian prosesi upacara ngaben pun dimulai. Juga lancar dipandu oleh penata acara yang piawai. Para pengusung bade dengan seragam yang masih bau toko mulai bergerak mengusung jasad Bibi menuju kuburan, bersorak dengan semangat. Menjadi sasaran kamera dan kekaguman.

Jalanan desa begitu ramai. Semua penduduk desa keluar rumah, tetapi cuma duduk-duduk di depan rumah masing- masing, hanya sebagai penonton prosesi ngaben bibiku. Yah. Hanya menonton. Seolah prosesi ini bukan bagian dari desa ini. Semua hanya menonton! Dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Jauh berbeda dengan para pelayat, teman, dan pengagum Bibi saat larut dalam prosesi dilanda keharuan hebat karena merasakan betapa agung dan meriahnya upacara ngaben bibiku. Seakan kembali mendengar seruan Bibiku, marilah hidup dalam kebersamaan. Marilah hidup dalam keragaman! Karena sejatinya kita adalah manusia, yang sama!

Lalu setibanya di kuburan, sebelum jasad dibakar dengan kompor sewaan, seorang menteri berpidato dan beberapa tokoh politik yang katanya berpeluang jadi presiden memberikan sambutan kenangan. Kilat blitz serta sorot kamera tak henti-henti. Karangan bunga duka cita bertumpuk-tumpuk menutupi tempat pembakaran. Semuanya lancar, rapi dan tepat waktu seperti sikap Bibiku yang selalu disiplin dan tepat waktu.
Tepat menjelang tengah hari, jasad bibi pun mulai dibakar. Api meliuk ke langit. Langit cerah. Ditingkahi suara gamelan. Keheningan sesaat memaksa air mata menetes. Kematian selalu membuat rasa kehilangan. Dan saat itu para pelayat, para tokoh, wartawan, dan orang-orang yang mengagumi Bibi mulai berpamitan. Satu per satu menyalami anak-anak Bibi dengan keharuan.

Seorang anak bangsa telah pergi. Pejuang kemanusiaan itu telah pergi. Sayup-sayup aku mendengar suara penyiar yang menyampaikan pandangan mata secara langsung dari kuburan. Dan ketika api padam, aku terbebas dari lamunan, dari keharuan. Lalu menoleh kiri dan kanan. Menghitung jumlah orang yang masih ada di kuburan. Yah, tinggal keluarga dan orang-orang sewaan saja yang tengah sibuk menghitung- hitung jam kerja dan upah yang akan mereka terima.

Aku mencari ayahku dengan mata tergetar. Aku juga mencari wajah para sepupuku. Aku mencari wajah semua keluarga. Bau asap jasad menghentikan pikiranku. Menghentikan hatiku. Aku merasa tiba-tiba begitu sendiri. Sendiri dan jauh dari dunia. Jauh dari teman-teman, jauh dari semuanya. Jauh sekali. Oh, seperti hidup di dunia yang lain. Begitu lain.

Dan bibi pun kini berada di dunia lain. Sendiri. Tetap tak perlu siapa-siapa selain dirinya. Sama seperti saat hidupnya.

Cinta Tanpa Rencana

Saat aku ada di dekatmu
Rasa nyaman hinggap di benakku
Saat aku sendiri dan butuh teman berbagi
Sosok dirimu yang kucari

Pertamanya ku tak menyangka
Ku anggap dirimu hanya teman saja
Kupikir rasa ini hanya sekedar kekaguman sosokmu semata
Ternyata semua ini adalah cinta

Terbersit gundah saat kusadari
Bahwa semua rasa ini tak biasa
Ingin kumenyatakannya
Namun kutakut merusak rasa yang sudah terbiasa ada
Bukan di diriku… Tapi di dirimu…